fbpx

Bagaimana Bisnis Sharing Economy selama Pandemi COVID-19?

Bulan April ini, kami berencana akan meluncurkan buku baru berjudul Corona Kills Everything. Terdapat 50 produk, bisnis dan kebiasaan lama yang “dibunuh” oleh pandemi COVID-19.

Beberapa contohnya adalah tempat wisata, hotel, konser musik, MICE (Meeting, Incentive, Conference, Exhibition), bioskop hingga Mall.

Salah satu yang dibunuh oleh pandemi ini adalah sharing economy.

Ironis memang, karena sebelum pandemi datang, sharing economy telah mendisrupsi begitu banyak bisnis konvensional. Namun di era pandemi, kini justru sharing economy didisrupsi oleh pandemi Corona. “From Disruptor to Disrupted by COVID-19

Lima tahun yang lalu sharing economy berjaya mendisrupsi satu-persatu industri. Namun itu cerita lama. Begitu pandemi datang, satu-persatu perusahaan yang menggunakan model bisnis sharing economy berguguran dan struggle di tengah-tengah ancaman wabah.

Dulu gagah perkasa mendisrupsi industri demi industri, namun kini didisrupsi oleh COVID-19. 

Wajar saja, karena by-default model bisnis sharing economy tidak kompatibel dengan kondisi pandemi. 

Kenapa? Karena ide dasar sharing economy adalah collaborative consumption, yaitu menggunakan sumberdaya yang ada  bisa mobil-motor (Uber-Gojek), akomodasi (Airbnb), tempat bekerja (WeWork), bahkan pakaian (Rent the Runaway)  untuk digunakan secara bersama-sama (sharing). Sifatnya yang “high touch, human-to-human contact and interactions” tak lagi fit dengan pandemi. 

Sebelum COVID-19 datang, ide itu sangat keren (“access is matter than ownership“) karena bisa menghemat sumberdaya dan sangat environmentally-friendly. Namun kini, ide tersebut menjadi kurang relevan karena untuk mengurangi risiko terinfeksi virus, konsumen justru menjauhi pemakaian barang secara bersama-sama/berbagi. 

Awalnya ide ini merupakan asset, namun kini berbalik menjadi liability.

Keterpurukan ini terutama terjadi untuk bisnis-bisnis berbasis sharing economy yang memberikan layanan dengan aktivitas fisik intens seperti ridesharingcommuting, dan travel/leisure.

Saat ini bisnis berbasis sharing economy menghadapi tiga disrupsi yang membuat sustainability mereka kian berar. 

Pertama, market-based disruptions yang datang dari persaingan yang mematikan. Kedua, non-market disruptions yang datang dari regulator karena di berbagai negara memang model bisnis ini belum ada skema regulasinya. Ketiga, Black Swan disruptions yang datang dari bencana pandemi.

Di antara tiga disrupsi tersebut Black Swan disruption yang disebabkan pandemi adalah yang paling kritis dan mematikan. 

Dalam kondisi ekonomi yang bagus saja perusahaan seperti Uber, Airbnb, atau WeWork tak mampu mendulang untung, apalagi dalam kondisi resesi yang bakal berkepanjangan akibat pandemi. 

Pasalnya, sebelum pandemi bisnis berbasis sharing economy ini mendapat kemewahan karena menjadi “investor darling” yang terus mendapatkan suntikan easy money miliran dolar walaupun hampir seluruhnya merupakan loss-making business.

Pertanyaannya, apakah venture capitalist seperti Masayoshi Son akan mau terus-terusan sabar menunggu dan setia menanamkan duitnya ke bisnis yang kini kian dalam terbelit masalah keuangan akibat pandemi? Seberapa kuat dan seberapa lama para investor itu akan mau terus merugi? 

Ini adalah pertanyaan eksistensial bagi perusahaan-perusahaan berbasis sharing economy.  Yang jelas, di era pandemi bonansa “bakar duit” bagi bisnis sharing economy telah lewat. Dan masa-masa paceklik telah datang, dimana di satu sisi bisnis kian sulit oleh krisis pandemi; dan di sisi lain, investor makin “kejam” menagih dividen keuntungan. 

Total
0
Shares
Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous Post

Stay at Home Business: The Fall and The Rise

Next Post

Peluang dan Tantangan Bisnis Agrikultur Post-Pandemi

Related Posts
Total
0
Share