Beberapa hari lalu Presiden Joko Widodo menggaungkan benci produk luar negeri. Hal ini dipicu lantaran Presiden Joko Widodo geram akan praktek perdagangan online (e-commerce) yang berpotensi membunuh usaha mikro kecil dan menengah atau UMKM di Indonesia.
Tentunya untuk mencintai produk dalam negeri merupakan isu yang penting dan krusial pasalnya UMKM merupakan salah satu kekuatan utama ekonomi Indonesia khususnya selama pandemi COVID-19. Terlebih di tahun 2030 diprediksi Indonesia akan menjadi ekonomi ke-7 terbersar di dunia. Perkembangan ekonomi yang cepat ini terutama didorong oleh momentum pertumbuhan kelas menengah yang cepat sejak 3 tahun trekhir. Dengan 240 juta penduduk (dimana 60% diantaranya kelas menengah) Indonesia akan menjadi salah satu pasar terbesar di dunia.
Namun kondisi tersebut akan menjadi ironis jika yang piawai memanfaatkan potensi pasar besar tersebut justru bukanlah anak negeri, tapi pemain-pemain global asing yang memiliki kemampuan sumber daya nyaris tak terbatas. Serta berujung menjadi “bangsa konsumen” dan “bangsa penikmat” bukan “bangsa value creator” dan “bangsa brand-builder”.
Oleh karena itu, kami memahami ajakan Pak Jokowi “benci produk luar negeri”. Itu adalah sebuah ekspresi dari “kejengkelan hingga ke ubun-ubun” beliau karena keterlaluannya bangsa ini dalam mencintai brand asing dan mengabaikan brand bangsa sendiri.
Berdasarkan dari kondisi tersebut, pada tahun 2013 kami telah menerbitkan buku berjudul “Beat The Giant”. Tesis buku ini adalah mengenai bagaimana para pemain lokal dapat menjadi tuan rumah di negerinya sendiri dan mampu bersaing baik di pasar domestik maupun pasar global
Melalui buku ini kami menawarkan sebuah model strategi yang bisa dipakai oleh para pemain lokal dalam menandingi raksasa-raksasa global di pasar Indonesia. Kami membagi merek lokal tersebut ke dalam empat posisi, berikut empat implikasi strategisnya sebagai berikut.
Die-Hard Flanker adalah merek lokal yang tidak memiliki local advantage maupun kemampuan mencapai global best practices yang kokoh. Merek lokal di posisi ini umumnya berskala kecil dan produknya tidak memiliki keunikan lokal. Karena itu mereka dihadapkan pada pilihan pelik untuk menyingkir (flank) dalam menghadapi merek global dan mencari niche market di mana ia masih bisa menguasainya.
Pemain seperti D’Cost, Ranch Market, Bank Pembangunan Daerah (BPD), perusahaan dotcom seperti Bhinneka.com atau Bukalapak.com, juga kebanyakan perusahaan kecil/menengah ada di posisi ini. Jadi, merek lokal di posisi ini harus membangun keunggulan di pasar-pasar yang diabaikan oleh merek-merek global. Strategi generik pemain di posisi ini adalah: FLANK and Create Your Own Pond.
Local Challenger adalah merek lokal yang memiliki keunikan lokal tapi masih belum mampu menyamai kemampuan merek global dalam hal kemampuan modal, manajemen, SDM, teknologi, dan lain-lain. Pemain lokal seperti Sido Muncul, Martha Tilaar Group, Hotel Santika, Mustika Ratu, Batik Keris, Viva, Pegadaian, Khong Guan, Bank Syariah Mandiri, Bank Muamalat, dan lain-lain ada di posisi ini.
Pilihan strategi yang bisa mereka ambil adalah membangun keunggulan bersaing melalui keunggulan lokal yang dimilikinya. Hotel Santika misalnya, membangun keunggulan lokal melawan hotel-chain asing dengan mengembangkan konsep layanan Indonesia hospitality yang berbasis pada kearifan lokal (local wisdom) Indonesia. Strategi generik pemain di posisi ini adalah: FOCUS on Your Local Uniqueness.
National Champion adalah pemain yang memiliki keunikan lokal, sekaligus memiliki kapasitas setara dengan global best practices. Pemain-pemain lokal seperti Garuda Indonesia, BRI, Sosro, JNE, Prodia, Indomaret, Alfamart, Kompas, dan Femina ada di posisi ini. Merek-merek lokal di posisi ini paling siap dalam menghadapi merek global secara head-to-head dengan cara membangun local differentiation.
Garuda Indonesia misalnya, membangun local differentiation dengan menggunakan identitas Indonesia dalam strategi branding-nya. Garuda Indonesia juga mengembangkan konsep layanan “Garuda Indonesia experience” dalam inflight services-nya melalui sight, sound, scent, taste, touch yang bernuansa kekayaan budaya Indonesia. Strategi generik pemain di posisi ini adalah: DOMINATE Domestic Market through Local Differentiation.
Global Chaser adalah pemain lokal yang by-default tidak memiliki keunikan lokal, tapi memiliki kapasitas modal, SDM, manajemen, dan teknologi yang sejajar dengan merek-merek global. Pemain-pemain lokal seperti Polygon, Polytron, Telkom, Pertamina Pelumas, Biofarma, Mayora, GarudaFood, Indofood, Semen Gresik, Bank Mandiri ada di posisi ini.
Pilihan strategi yang bisa mereka ambil adalah terus mengejar kapasitas global best practices dan kalau perlu membangun daya saing dengan masuk ke pasar-pasar regional/global. Global chaser seperti Biofarma, Polygon, atau Pertamina Pelumas misalnya, mulai agresif membangun daya saing dengan memasuki pasar Asia, Eropa, dan Amerika. Strategi generik pemain di posisi ini adalah: EXPAND to Global Market.
Kalau mau diringkas, maka empat strategi di atas menjadi:
2FDE = FLANK-FOCUS-DOMINATE-EXPAND