Di tahun 2021 kita akan menghadapi perubahan peta industri besar, barangkali terbesar dalam sejarah peradaban umat manusia.
COVID-19 telah meluluh-lantakkan sendi-sendi perekonomian, industri, dan bisnis yang memaksa kita memasuki dunia yang sama sekali baru: A WHOLE NEW WORLD.
Di tahun 2021 kita akan menghadapi pergeseran industri maha dahsyat dan ekstrim, karena itu kami menyebutnya: INDUSTRY MEGASHIFTS.
Bagaimana peta pergeserannya?
Secara sederhana kami kelompokkan ke dalam 3 bagian besar yaitu pergeseran di tingkat MEGA (“Changes), MACRO (“Competition”) dan MICRO (“Customer).
I. MEGA: THE 6 FORCES OF CHANGES
Pergeseran di tingkat Mega mencakup perubahan-perubahan besar di bidang teknologi, politik, regulasi, sosial, ekonomi, hingga lingkungan. Secara umum ada 7 perubahan besar yang terjadi di tingkat Mega ini yaitu:
#1. COVID-19 Propagation & Vaccine Availability
Berbeda dengan perubahan-perubahan industri sebelumnya, di tahun 2021 perubahan industri sangat ditentukan oleh penyebaran virus dan kemampuan pemerintah dalam memproduksi dan mendistribusikan vaksin kepada seluruh warganegara.
Faktor ini menjadi “vital driver of change” karena sejauh penyebaran virus tak bisa dihentikan dan vaksin penangkal tak urung dikembangan, maka seluruh elemen perekonomian, industri, dan bisnis akan tetap lumpuh tak berdaya.
Namun begitu muncul titik terang vaksin diproduksi dan didistribusikan, maka sentimen konsumen akan cepat pulih, spending masyarakat (khususnya kelas menengah) mulai bangkit, dan perekonomian kembali menggeliat.
#2. Societal Anxiety
Pandemi menimbulkan luka yang akut dan kecematan luar biasa di kalanagan konsumen dan masyarakat. Mereka takut dan cemas kehilangan nyawa (“Fear of Death“), kehilangan pekerjaan dan jatuh miskin (“Fear of Economic“), dan kehilangan kehidupan sosial, harapan, kebergunaan (“Fear of Actualization“).
Ketakutan dan rasa cemas itu terjadi di tingkat individu (personal) tapi kemudian bermetamorfosis dan menjelma menjadi keresahan komunal (societal) yang berujung pada berbagai persoalan sosial seperti keputusasaan, isolasi, depresi, kejahatan, kenekatan, hingga ekstrimisme. Mindfulness dan well–being menjadi kelangkaan di tengah-tengah era ketakutan ini.
#3. The Rise of Coronationalism
Di era pandemi masing-masing negara akan semakin selfish dengan berupaya keras melindungi kepentingan masing-masing. Pembatasan dan pelarangan arus keluar-masuk orang (penerbangan), barang (ekspor-impor), kontrol perbatasan akan kian massif dengan alasan kepentingan nasional masing-masing negara.
Negara-negara saling menyalahkan seperti yang dilakukan Presiden Trump yang menuduh Cina sebagai biang kerok bencana COVID-19. Ketika vaksin diproduksi nanti, semua negara akan “berebut” mendapatkan vaksin demi kepentingan warganegara masing-masing. Negara juga bisa semena-mena akan melarang orang asing masuk dengan alasan perlindungan warganegara. Sebut saja ini: “Coronationalism“.
Maka tak terhindarkan pandemi mendorong kohesi di dalam negara akan meningkat, sebaliknya friksi antarnegara akan menguat. Pandemi adalah antitesis globalisasi.
#4. Government (Mis) Leadership
Beberapa negara sukses menangani krisis pandemi seperti Selandia Baru, Taiwan, atau Korea Selatan, namun sebagian besar negara di dunia gagal menanganinya termasuk Indonesia.
Bukan suatu hal yang aneh karena pandemi datang begitu cepat dan semua negara gelagapan meresponnya: mulai dari kebijakan PSBB/lockdown, antisipasi darurat perlengkapan dan infrastruktur kesehatan, menangani krisis ekonomi, hingga produksi/distribusi vaksin.
Kini leadership para pemimpin negara di seluruh dunia diuji. Efektif tidaknya kepemimpinan mereka menangani krisis COVID-19 akan menentukan cepat tidaknya pemulihan ekonomi, industri, dan bisnis.
#5. Global Supply-Chain Disruption
Sebelum pandemi, sistem produksi global mengalami globalisasi dimana rantai pasok produksi tersebar di berbagai untuk memanfaatkan spesialisasi, skala ekonomi, pasok tenaga kerja, kedekatan dengan bahan baku, maupun kedekatan pasar akhir.
Namun dengan adanya pandemi, maka kondisinya berbalik. Memiliki rantai pasok tersebar di berbagai belahan dunia membawa risiko kritikal ketika arus barang melintas negara mengalami bottleneck. Dampaknya serius di sektor-sektor manufaktur seperti: otomotif, komputer/elektronik, garmen, farmasi, kimia, hingga makanan/minuman.
Pasca pandemi berbagai industri akan membangun resiliensi dengan membagun ekosistem rantai pasok yang lebih terkonsentrasi di lingkup regional bahkan bahkan nasional, tak lagi tersebar di berbagai belahan dunia.
#6. Accelerated Digitalization
Pandemi menjadi katalis bagi konsumen untuk bermigrasi ke ranah digital/online. Dengan munculnya stay @ home economy akibat pandemi, maka seluruh aktivitas konsumen kini dilakukan secara digital: berbelanja, bekerja, belajar, berobat, menikmati hiburan, bahkan beribadah.
Ketika ekonomi fisikal mandek akibat pandemi, maka ekonomi digital menggantikannya sehingga geliat perekonomian masih berjalan. Tak heran jika transformasi digital menjadi agenda terpenting bagi perusahaan untuk tetap bisa survive di tengah pandemi. Semboyannya: “Go digital or die!!!”
(Bersambung)