Pandemi telah mengubah lanskap komunikasi pemasaran sehingga paradigma dan strateginya pun harus diredefinisi.
Ada tiga pergeseran besar yang mempengaruhi lanskap komunikasi pemasaran. Pertama di tingkat makro, adalah pergeseran dari “high-touch economy” menjadi “low-touch economy” di mana interaksi yang human-intensive semakin bergeser ke digital-intensive.
Kedua di tingkat konsumen, adalah munculnya tren ke arah “go virtual” di mana berbelanja, bekerja, belajar, hingga menikmati hiburan kini semakin dilakukan secara virtual.
Ketiga ditingkat masyarakat, adalah terbentuknya apa yang saya sebut empathic society dimana dengan adanya krisis pandemi masyarakat kian peduli dan berempati dengan sesama.
Dengan berbagai pergeseran besar tersebut maka paradigma dan strategi komunikasi pemasaran pun harus digeser. Berikut ini adalah 6 pergeseran paradigma yang harus dilakukan oleh merketer di kenormalan baru.
#1. From COMPANY AT THE CENTER to CUSTOMER AT THE CENTER:
“Put customers at the center of strategy give you a unified message + channel interactions. It leads you to their universe”.
Dalam paradigma komunikasi pemasaran lama, “brand adalah panglima” di mana brand DNA, brand identity, atau brand value proposition dirumuskan kemudian disebarkan ke target market. Konsumen menjadi obyek pasif yang “dihajar” dengan eksposur brand.
Ketika platform digital memungkinkan “konsumen menjadi panglima”, maka paradigma itu harus dibalik. Proses komunikasi pemasaran berawal dan berfokus pada konsumen. Marketer harus memahami keinginan konsumen berikut channel interaksinya, baru kemudian pesan disampaikan secara customised bahkan persoalized ke konsumen.
Dengan perubahan paradigma dari “company at the center” ke “customer at the center” maka pesan yang disampaikan ke konsumen akan relevan. Tak hanya itu, marketer akan memahami betul kehidupan konsumen secara holistik.
#2. From HIGH-TOUCH to LOW-TOUCH:
“In the low-touch economy, the DIGITAL experience is the new mainstream. SPACE experience still matters, but SCREEN experience is the key winning formula”.
Di era “low-touch economy” konsumen dipaksa oleh COVID-19 bermigrasi ke ranah digital. Karena itu digital experience menjadi elemen penting untuk menaklukkan hati konsumen.
Dalam consumer journey, pengalaman fisik tak akan berkurang dan tetap akan penting, namun digital experience menjadi faktor penentu kemenangan. Karena itu “space experience” (fisikal) dan “screen experience” (digital) harus diintegrasikan sehingga menciptakan pengalaman baru yang frictionless lintas channel.
#3. From PROPOSITION to RESPONSIBILITY:
“In the era of the pandemic, every brand is the EMPATHIC brand. It must RESPONSIBLE for the whole life of the customer”.
Di tengah banyak orang mengalami kesulitan hidup akibat pandemi, maka komunikasi ke konsumen tidak lagi bersifat jualan menawarkan produk, tapi merupakan ungkapan empati terhadap musibah yang menimpa konsumen.
Di masa pandemi brand harus menjadi “responsible brand” yang bertanggung jawab penuh pada keselamatan dan well-being konsumen. Brand tak boleh abai dan cuci tangan terhadap kesulitan yang di alamai masyarakat di tengah bencana pandemi. Brand harus menjadi bagian dari solusi dalam mengatasi dampak krisis COVID-19.
#4. From MESSAGE to STORY:
“STORY creates a cohesive narration that encompasses the facts and feelings about the brand. It inspires an emotional reaction”.
Di dalam empathic society, brand story menjadi kian penting. Komunikasi pemasaran tak bisa lagi mengandalkan pesan datar yang menonjolkan keunggulan produk. Tapi harus mulai bergeser ke arah cerita yang menggambarkan kenyataan dan suasana emosional dari brand.
Cerita memiliki kekuatan luar biasa untuk menggerakkan hati konsumen. Inilah dasar munculnya emotional connection antara konsumen dengan brand.
#5. From TOUCHPOINT to JOURNEY:
“Treat customer engagements as a JOURNEY. It gives you a holistic view of the end-to-end experience”.
Untuk menyempaikan brand story ke konsumen, marketer harus memahami consumer journey selama mereka berinteraksi dengan brand. Dengan menyikapi interaksi dengan konsumen sebagai sebuah journey, maka marketer akan mampu melihat interaksi tersebut sebagai sebuah pengalaman holistik dari ujung ke ujung (end-to-end experience).
Walaupun penyampaian pesan dilakukan di setiap touchpoint namun pesan tersebut tetap mengacu kepada pengalaman holistik konsumen. Dengan begitu pesan yang tersampaikan akan memiliki koneksi yang kuat, relevansi tinggi, dan lebih komprehensif.
#6. From MULTI to OMNI
“OMNI-CHANNEL approach will give you a seamless, unified, and consistent customer interactions“.
Pendekatan consumer journey, menuntut marketer melihat setiap titik persentuhan interaksi (touchpoint) sebagai entitas yang terpisah dan terlepas satu sama lain, tapi sebagai satu kesatuan journey. Paradigma baru komunikasi ini akan menghasilkan penyampaian pesan (story) yang satu kesatuan, relevan, dan konsisten.
Ingin tahu pembahasannya?
Join The Webinar