Pemerintah Provinsi DKI Jakarta kembali menetapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sebagai respon terhadap laju pertumbuhan kasus positif COVID-19 di Jakarta yang sudah tidak terbendung. Salah satu aturan yang diterapkan selama PSBB yaitu pelarangan makan di tempat (dine in) untuk resto dan kafe. Pembatasan sosial skala global maupun nasional telah memberikan tantangan yang berat bagi industri resto dan Food and Beverages (FnB).
Di skala global, pembatasan sosial telah mengacaukan rantai pasok dunia. Negara-negara menutup akses wilayahnya untuk menekan laju penyebaran virus COVID-19 termasuk menutup akses logistik yang berdampak pada aktivitas ekspor-impor. Maka dari itu, bisnis terpaksa berhenti beroperasi karena mereka tidak bisa memperoleh bahan mentah.
Sementara itu, di skala nasional, dengan adanya pelarangan dine in secara otomatis pemilik bisnis resto dan FnB hanya bisa mengandalkan dari pembelian take away dan delivery. Kedua aktivitas ini sangat bergantung pada teknologi digital. Tidak dapat dipungkiri, pandemi COVID-19 telah mengakselerasi adopsi digital. Kunci utama untuk survive di masa pandemi yaitu kecepatan beradaptasi dengan teknologi digital. Maka dari itu, melakukan transformasi digital bukan lagi menjadi hal yang bisa ditawar.
Industri resto dan FnB juga harus menghadapi tantangan perubahan perilaku konsumen. Perubahan yang paling menonjol yaitu ditandai dengan perubahan pola konsumsi yang cenderung mengurangi aktivitas belanja. Salah satunya ditandai dengan peningkatan aktivitas dapur karena konsumen lebih sering memasak. Selain untuk alasan lebih higienis juga untuk menghemat pengeluaran rumah tangga.
Lantas, menghadapi tantangan dari sisi analisis makro dan mikro bagaimana masa depan resto di era Next Normal?
Kami mengkaji 3 faktor utama yang berpengaruh terhadap bisnis dalam analisis 3C (Changes, Competition, Customer). Ketiga faktor tersebut akan berpengaruh secara saling silang terhadap pertumbuhan bisnis resto dan FnB di era Next Normal. Analisis 3C kami definisikan sebagai berikut: Outer Circle Changes, Mid Circle Competition dan Inner-Circle Customer.
#1. OUTER CIRCLE: CHANGES
Dari segi analisis makro, tantangan terberat yang dihadapi oleh bisnis resto yaitu disrupsi pada rantai pasok makanan. Selain itu, kekacauan ekonomi yang diakibatkan oleh pandemi COVID-19 dan dialami oleh negara-negara maju turut membuat ancaman resesi dalam negeri semakin nyata. Dampaknya, dengan kondisi ekonomi yang tidak pasti, konsumen akan cenderung berhemat. Ditambah lagi aturan kebijakan buka tutup PSBB yang mendorong konsumen beraktivitas di rumah saja. Ketika konsumen mengurangi konsumsi dan sudah semakin nyaman di rumah, otomatis perilaku food delivery dan dine in di resto akan berkurang drastis.
- Food Supply-Chain Disruption. Pandemi COVID-19 menyebabkan rantai pasok makanan menjadi terhambat. Ketika pembatasan sosial diberlakukan, petani kesulitan untuk mendistribusikan hasil panen karena jalur logistik antarwilayah dibatasi. Akibatnya, hasil panen tersimpan di gudang dan membusuk. Belum lagi, himbauan untuk di rumah saja sehingga kebun atau ladang tidak terkelola dengan baik. Petani mengalami gagal panen dan jatuhnya harga bahan pangan. Sementara itu, rantai pasok global juga mengalami gangguan sehingga aktivitas ekspor-impor terhambat. Ketika bisnis tidak bisa memperoleh bahan baku, maka bukan tidak mungkin bisnis tersebut harus menutup operasional.
- Global + National Recession. Negara-negara maju mulai mengumumkan resesi yang berakibat pada instability economic situation. Bahkan yang terbaru, para menteri menginformasikan bahwa ancaman resesi di Indonesia bisa saja tak terelakkan. Di tengah kondisi ekonomi yang tidak menentu dan ancaman PHK akibat pemberlakuan PSBB, maka dalam lingkup keluarga akan mulai menyesuaikan pola ekonomi. Studi dari McKinsey & Company, terjadi penurunan konsumsi dari 23% menjadi 19%. Tidak hanya konsumsi namun juga pada jumlah tabungan. Hal ini salah satunya disebabkan karena karyawan mengalami pengurangan gaji sehingga jumlah tabungan pun ikut turun.
- Intermittent Social Distancing Policy. Kebijakan buka tutup PSBB akan mendorong pemilik resto untuk merubah sistem operasional. Ketika konsumen tidak berbelanja di mal, tidak bisa dine in maka konsep resto dengan furnitur yang lengkap tidak lagi relevan. Sebagai gantinya, resto diubah menjadi dapur sentral dimana tenant-tenant berkumpul di satu area sehingga konsumen bisa memesan makanan cukup dengan metode delivery atau take away.
#2. MID-CIRCLE: COMPETITION
Pandemi COVID-19 menjadi katalisator yang mempercepat adopsi digital. Dengan begitu mau tidak mau, pandemi memaksa bisnis harus melakukan digitalisasi proses. Tren model operasional seperti Ghost Kitchen mulai booming karena konsumen lebih mengandalkan jasa online food delivery maka keberadaan resto yang luas dan instagrammable tidak lagi relevan.
- Online Delivery Platform. Layanan online delivery dari platform daring meningkat pesat selama masa pandemi. Dikarenakan orang membatasi aktivitas di luar rumah sehingga praktis urusan memesan makanan beralih ke channel online. Pergeseran ini tidak hanya dari sisi channel namun juga preferensi makanan. Jika sebelum pandemi, konsumen memesan makanan via online delivery platform hanya untuk makanan yang bersifat indulgence kini beralih ke utility. Artinya aktivitas memesan makanan untuk memenuhi kebutuhan rutin. Gojek misalnya, menyediakan kategori khusus untuk frozen food dan ready to cook.
- Ghost Kitchen Model. Layanan online delivery di masa pandemi COVID-19 kian meningkat jumlahnya dan menjadi penopang bisnis kuliner saat ini. Namun, permasalahannya tidak semua pengusaha kuliner memiliki fasilitas proper kitchen untuk memenuhi layanan delivery. Di era kolaborasi kokreasi saat ini, Grab meluncurkan konsep “dapur bersama” bernama Grab Kitchen. Layanan ini adalah suatu bentuk ekspansi bisnis baru GrabFood yang berkonsep Cloud Kitchen. Artinya, Grab menyediakan platform berbentuk dapur yang dapat diisi oleh berbagai merchant atau restoran secara bersama-sama (sharing). Hal ini membuat proses produksi para pengusaha kuliner menjadi lebih efisien dan terjangkau.
- Digitized Customer Experience. Di era Next Normal, industri reston perlu melakukan desain ulang terhadap consumer journey. Seperti yang kita ketahui, Pandemi menghadirkan pola ekonomi baru yaitu contactless economy. Setelah vaksin diproduksi dan bisa diakses secara massal, imajinasi bahwa konsumen masih ingin datang ke resto yang waiting list, buku menu makanan berbentu fisik dan tempat duduk sharing tentu tidak akan ada lagi. Konsumen menuntut experience yang minim sentuhan saat dine in di restoran dengan memaksimal fitur digital seperti booking online, scan menu barcode dan digital payment.
#3. INNER-CIRCLE: CUSTOMER
“After pandemic, every consumer is digital consumer”. Maksudnya yaitu ketika di masa pandemi bisnis berlomba-lomba melakukan digitalisasi. Di sisi yang lain, konsumen juga mengalami digital maturity. Konsumen dari segela rentang usia mulai fasih menggunakan gadget. Dengan digitalisasi bisnis, konsumen akan menaruh ekspektasi lebih dan menjadi lebih value oriented. Artinya, konsumen sangat berhati-hati sebelum membeli dan pertimbangan harga menjadi penting karena adanya persepsi bahwa dengan digitalisasi proses, maka harga yang ditawarkan seharusnya bisa lebih murah.
- More Value Oriented. Keunggulan berjualan secara digital adalah cost lebih murah karena penjual tidak harus sewa tempat atau mempekerjakan pegawai terlalu banyak. Mengetahui hal tersebut, konsumen menjadi sangat demanding dan menjelma menjadi hyper-value consumer. Dengan adanya digital, aspek brand dan experience menjadi komoditisasi yang terangkum dalam 3 aspek: Convenience, Speed, Low Cost. Di dunia digital, aspek emosional tidak begitu penting karena emotional value hanya bisa benar-benar diterima oleh konsumen ketika mereka bisa sensing dengan indera mereka (bisa dirasakan, dilihat, dinikmati).
- Digital Maturity. Pandemi COVID-19 mendorong konsumen segera beradaptasi dengan digital. Jika dahulu memesan makan melalui platform hanya dilakukan oleh generasi muda yang memang lebih digital savvy. Kini, penetrasi memesan makanan secara online pun juga dilakukan oleh orangtua, kakek atau nenek kita. Artinya, dalam menghadapi bombardir digital, konsumen semakin mature dan siap menghadapi era baru Next Normal.
- CHS Concern. Di masa pandemi, prioritas utama konsumen adalah keamanan dan kesehatan saat membeli makanan. Pandemi meningkatkan kesadaran terhadap aspek CHS (Cleanliness, Healthy and Safety). Konsumen menjadi lebih selektif memilih makanan yang masuk ke mulut mereka dan sangat mempertimbangkan kandungan gizi serta aspek kesehatan yang mendukung untuk menjaga daya tahan tubuh.
Apa saja perubahan perilaku konsumen, faktor yang mempengaruhi dan bagaimana pemilik resto, dan bisnis FnB bersiap menghadapi tantangan di era Next Normal untuk win-back di 2021?
Cari tahu lebih lanjut dalam webinar Resto Business Outlook 2021.