Milenial adalah YOLO generation.
YOLO singkatan “You Only Live Once”: Manusia hanya hidup sekali, karena itu nikmatilah hidup saat ini juga. Terus, hidup yang besok-besok gimana? “Emang gua pikirin,” begitu jawab kaum milenial.
YOLO menjadi populer sejak istilah tersebut muncul dalam salah satu lagu milik rapper kondang Drake “The Motto” pada tahun 2011. Sejak itu hastag #YOLO menjadi trending topic dan menjadi bahasa gaul kaum muda milenial di seluruh dunia.
YOLO juga sering diasosiasikan dengan gaya hidup yang mewabah di kalangan kaum muda milenial Korea yang mementingkan momen kesenangan dan kepuasaan saat ini, tanpa peduli hari esok.
Kenapa milenial punya gaya hidup YOLO?
Karena pada dasarnya milenial adalah “generasi susah”. Masa kecil dan remaja mereka pekat diliputi krisis ekonomi, perang di mana-mana, terorisme dan merebaknya kasus SARA, pengangguran masal dan kesulitan hidup, dan ketidakpastian akibat disrupsi teknologi.
Kita tahu milenial lahir di awal tahun 1980an. Saat mereka remaja krismon 1998 menghantam membuat orang tua mereka jatuh miskin. Kemudian diikuti pemboman WTC dan bom Bali yang memicu krisis politik berbasis SARA berkepanjangan di awal tahun 2000an. Lalu di susul krisis ekonomi dunia (subprime mortgage crisis) tahun 2008. Dan kini rupiah mulai menembus angka 15.000.
Karena hidup begitu tidak menentu dan masa depan penuh dengan ketidakpastian, maka tak heran jika mereka menjadi berorientasi saat ini (present-oriented atau NOW-oriented). Mereka semakin tak mau pusing memikirkan masa depan.
“Kalau tidak ada jaminan hidup ke depan menjadi lebih baik, maka akan lebih baik dipuas-puaskan hidup hari ini,” begitu argumentasi mereka. Mereka cenderung mengorbankan masa depan untuk mendapatkan kesenangan hari ini.
Itu sebabnya YOLO menjadi biang utama munculnya “leisure economy” dimana masyarakat makin banyak menghabiskan uangnya untuk berlibur, dine-out, main games, nonton konser, olahraga, hingga ber-selfie ria.
Apa akibatnya jika milenial memiliki YOLO lifestyle?
Yang paling jelas terlihat adalah, mereka lebih senang menghabiskan uangnya untuk kesenangan sesaat seperti hura-hura dan nongkrong di kafe, menjadi backpacker keliling dunia, atau nonton konser Ed Sheeran di Singapura; ketimbang menabung atau menyicil KPR.
Tren menunda menikah bisa juga ditelusur dari YOLO lifestyle di kalangan milenial. Ya, karena menikah bisa mereka artikan sebagai kerepotan mengurus anak, mengelola rumah tangga, membeli rumah, atau menyekolahkan anak. “Hidup cuma sekali, kenapa harus dibikin repot,” ujar mereka.
Dengan begitu dampaknya ke bisnis pun bisa ditengarai: bisnis leisure/experience seperti liburan atau kafe bakal boom; tapi sebaliknya bisnis seperti reksadana atau KPR bakal mengerut.
Di atas itu semua, milenial akan menjadi “instant generation” atau “Now generation”, generasi serba instan, serba sekarang, nggak peduli masa lampau dan masa depan.
Petuah Master Oogway kepada Po di film Kung Fu Panda (2008) ini barangkali menjadi begitu “gue banget” bagi kalangan muda milenial:
“Yesterday is history, tomorrow is a mystery, but today is a gift.”
“That is why it is called the present.”